Mentari
Cerpen By: Eka SP.
“ Cinta itu hadir menyapaku saat aku dilanda putus asa dan kecewa
Dia tersenyum manis seakan menawarkan sejuta pesona dan bahagia
Die begitu berharga dalam setiap kesederhanaannya
Walau kadang membuat hati meradang dan luka
Namun, cinta itu telah datang dan menjerat hatiku”
Dimas menutup bukau yang berisi kumpulan puisi itu sambil menghela nafas dalam-dalam.Lama ia terdiam.Dari balik kacamata minusnya terlihat matanya menerawang jauh dalam kekosongan.
Diusapnya sampul buku itu
“Penantian Panjang, Kumpulan Puisi karya Mentari Pitaloka”
Begitu judul buku itu.Buku yang seakan menjadi cambuk dalam kehidupannya.Cambuk yang membuatnya menyesal dan pedih tiada tara.Buku yang seakan bercerita tentang masa lalu kehidupannya.Buku yang seperti mesin pemutar kenangan dalam memori otaknya.Buku yang selalu membuatnya ingat pada satu nama, Tata.
Ya..Tata.Gadis yang lucu dan unik.Gadis yang begitu suka makan mie ayam pedas-pedas, main basket, berlari, teriak-teriak dan marah-marah tanpa alasan yang jelas.Gadis yang selalu memakai kaos oblong dan celana sebatas lutut serta tidak ketinggalan sandal jepit butut kotor yang selalu ia bawa kemana-mana.Tomboy... sekali.
Dulu Tata tinggal satu kompleks dengannya.mereka pertama kali bertemu saat liburan semester di sebuah acara pertandingan basket.Dimas tidak terlalu kenal pada Tata.Meskipun tinggal pada satu kompleks perumahan, Dimas memang tak begitu kenal dengan tetangganya karena sejak kecil ia sekolah di luar kota dan pulang hanya saat liburan semester saja.
Pertama kali bertemu Tata, ada satu kejadian lucu yang membuat Dimas geli bila mengingatnya.Waktu itu Tata sedang mencak-mencak marah-marah karena celana pendeknya kotor terkena tumpahan ice cream yang sedang dimakannya sendiri.
“Uh.....!!Dasar es krim kurang ngajar..!Ga sopan..!Bikin celana gue kotor aja! Kasihan ibuku tahu..!!Dia yang nyuciin...!!
Dimas tersenyum geli mengingat kejadian itu.
“Ayah...”tiba-tiba suara sapaan lirih membuyarkan lamunannya.
Dimas menengok ke sumber suara.Seorang gadis kecil yang lucu telah duduk di sampingnya.
“Kok Ayah senyum-senyum sendiri ?” tanya anak itu.
Dimas tersenyum sambil mengusap rambut putri semata wayangnya itu.
“Sasya udah pulang..?”tanya Dimas lembut, “ Bunda mana?”
Belum sempat Sasya menjawab, seorang wanita cantik masuk ke ruangan itu sambil membawa sekeranjang penuh barang belanjaan.
“Hei..” sapa wanita itu sambil meletakkan meletakkan barang belanjaannya di atas meja dapur.
“Udah sarapan Yah?”tanya wanita itu pada Dimas.
Dimas mengangguk sambil tersenyum.
“Bunda dapet buku ini darimana?”tanya Dimas sambil mengacungkan buku kumpulan puisi yang tadi dibacanya.
“Oh...buku itu Bunda pinjem dari perpustakaan kampus mau dijadiin referensi ajar minggu depan.Bukunya bagus banget lho......Ayah udah baca sampai mana?”
Dimas tersenyum simpul.Lama ia memperhatikan wanita cantik yang tengah sibuk membongkar barang belanjaannya itu.
Wanita itu bernama Laras.Wanita yang kini menjadi pendamping hidupnya itu adalah seorang dosen sastra indonesia di Fakultas Bahasa dan Sastra sebuah perguruan tinggi di kota semarang ini.Mereka sudah menikah selama enam tahun.Dimas begitu bahagia.Apalagi sejak mereka dikaruniai seorang putri yang lucu dan manis.
“Yah..kok bengong?”suara teguran dari Laras membuat Dimas tersipu.
“Pagi-pagi kok udah ngelamun..”tutur Sasya meledek.
Dimas tertawa kecil sambil mencubit hidung mungil Sasya.
* * *
Dimas terpekur memandang keluar dari jendela ruang kerjanya.Gerimis renyai turun sore itu.Gerimis yang membuatnya teringat pada Tata.lagi-lagi Tata mengisi memorinya dan tiap kali teringat pada gadis itu, selalu ada perasaan bersalah yang membuat jiwanya sesak.
Dimas berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya.Ia duduk dengan malas di jok kursinya.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima sore dan semua pekerjaannya sudah beres.Sudah dua tahun terakhir ini ia bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan swasta nasional yang lumayan maju.
Dimas membuka laci mejanya lalu diambilnya sebuah buku dari dalam laci itu.Buku yang selalu menemani waktu senggangnya selama sebualn terakhir ini.Buku yang bisa ia baca berulang-ulang tanpa rasa bosan.Ia juga tak menyangka bila Laras, istrinya, menyukai buku itu.Buku yang berisi puisi curahan hati Tata.Ya...nama lengkap Tata memang Mentari Pitaloka.
“Daun-daun itu berteriak menanyakan keputusanku yang aneh
Kenapa kupilih bumi daripada langit yang menawarkan kemegahan abadi?
Kenapa kupilih jalan setapak di tengah sawah daripada jalan beraspal yang mudah kulalui
Ku jawab dengan suara lirih penuh kepedihan
Karena aku tak bisa terbang menggapai langit
Karena aku tak punya alas kaki untuk berjalan di atas aspal saat terik
Kupilih bumi yang selalu membimbing hidupku
Kupilih jalan setapak yang penuh kedamaian tanpa ragu”
Dimas terus membaca satu persatu puisi yang tertulis dalam buku itu
“Matahari itu menyuruhku membenci hadirnya
Dia tak ingin aku bergembira menyambut kedatangannya
Dan kini aku telah menemuakan sang bulan yang terang dengan redup cahayanya
Menyinari malamku yang gelap gulita
Namun, sang bulan itu juga meninggalkan aku dalam luka
Dia tak kembali menghampiri hari-hariku
Mungkinkah tidak ada yang mau perduli padaku
Haruskah aku selalu sendiri menunggu tanpa tepi?”
Tak terasa airmata Dimas menetes perlahan.Ada berjuta gejolak rasa yang membuat ia menangis saat mengingat Tata dan semua kenangan yang terjadi dua belas tahun silam.
Tata.....Gadis itu telah menjadi bagian terpenting dari kisah hidupnya.Gadis yang begitu setia menanti kehadirannya.Gadis yang begitu tulus menyayanginya dan rela berubah demi dia.Dimas masih ingat waktu ia liburan semester kelas dua SMA.Waktu itu Tata baru kelas satu SMA.Ada satu hal yang membuat Dimas menyesal hingga sekarang.Ia menertawakan Tata yang dengan tulus rela berubah demi dia.Tata betul-betul merubah penampilan sehari-harinya yang biasa memakai kaos oblong dan celana pendek dengan pakaian yang benar-benar santun.Tata memakai kerudung dan baju panjang menutupi auratnya sebagai perempuan.Tata memutuskan memakai jilbab.Dimas betul-betul bodoh waktu itu karena menertawakan Tata.Tata yang kesal karena ditertawakan langsung melemparkan bola basket ke arahnya.
“Tata...” gumam Dimas lirih.
“Tok..tok...tok..”suara ketukan di pintu ruang kerjanya membuat Dimas tersadar dari kenangan masa lalunya.
“Masuk....!” seru Dimas sambil mengusap airmata di sudut matanya.
Pintu terbuka dan seorang pria seumurannya masuk sambil tersenyum.
“Selamat sore, Pak Dimas...”sapa pria itu sambil melangkah menghampiri Dimas.
“Sore juga Pak Adit...”sambut Dimas sambil berdiri.
Mereka berjabat tangan dengan hangat dan basa-basi sekedarnya.
Adit adalah teman sekerja Dimas.Umurnya dua tahun di atas Dimas tapi pria itu masih betah membujang tanpa alasan yang jelas.Adit dan Dimas kenal sejak pertama masuk kerja di perusahaan itu tak heran hubungan mereka sudah selayaknya saudara.Adit adalah orang asli Semarang.Aditlah yang selama ini memperkenalkan semua kebudayaan dan adat Jawa pada Dimas dan keluarganya.
“Sudah selesai kerjaanmu, Dim?”tanya Adit
Dimas mengangguk.
“Wajahmu kok kelihatan suntuk tho?”tegur Adit”Ada masalah?”
Dimas tersenyyum,”Nggak ada apa-apa..”
“Gimana kabar Sasya?Bulan depan dia sudah mulai masuk SD, kan?”
Dan obrolan mereka pun berlanjut sampai waktunya pulang kerja datang.Sepulang dari kantor, mereka berdua mampir di kedai kopi.
“Semua orang pasti punya masa lalu, Dim.”tutur Adit sambil mereguk kopi di cangkirnya.”Tapi masa lalu itu ndak boleh jadi beban hidup karena kita masih punya masa depan.”
“Kamu bisa ngomong begitu karena kamu nggak ngerasain apa yang kurasakan, Dit...”tukas Dimas “Rasa bersalah itu terus membuat hidupku gelisah..”
Adit tertawa kecil
“Aku juga sedang merasakan hal seperti itu...”gumamnya lirih.
Dimas mengernyitkan keningnya,”Maksudmu?”
Adit tersenyum kecut,”Ya..perasaan bersalah karena telah mencampakkan orang yang begitu tulus mencintai kita...”
“Oh...jadi kamu juga punya masa lalu seperti itu?”tanya Dimas,”Apa itu yang jadi alasan kenapa kamu belum juga kawin sampai sekarang?”ledeknya.
Adit tersenyum simpul,”Mungkin memang begitu..”
“Kamu nggak kepengen cerita?”tanya Dimas penasaran.
Adit tersenyum lalu mulai bercerita,”Semuanya sudah lama terjadi hampir sembilan tahun yang lalu.Dulu waktu aku baru lulus SMA, sebelum aku mulai kuliah.Aku pernah kerja di jakarta.Di sebuah toko komputer yang lumayan besar...Dulu aku jadi teknisi di sana..”
“Ehm..pantes kalau kamu sekarang jadi pimpinan IT Department di perusahaan kita..”potong Dimas.
Adit tersenyum.
“Terus ..gadis itu satu kerjaan sama kamu?”
Adit menggeleng,”Ndak....Dia kerja di toko sebelah...Toko komputer milik sepupunya...”
Adit berhenti sebentar,”Anaknya lucu..., pakai jilbab tapi gayanya itu masih tomboy..Dia suka sekali memakai baju warna hitam..Aku suka merhatiin dia..ngeledekin dia...Aku ndak nyangka kalau diam-diam dia juga mulai suka sama aku..Dia sering nelfon ke handphoneku.., ngingetin sholat...ngingetin makan...”
“Dia nembak kamu duluan?”
Adit tersenyum.”Dia memberikan surat yang isinya menyatakan persaannya padaku..”
“Kalian jadian?”
“Ndak...Aku ngerasa nggak pantes buat dia.Aku tuch orang miskin beda dengan kehidupannya yang serba ada...”
“Walaupun sebenarnya kamu suka sama dia?”
“Aku sayang sama dia karena itulah aku ndak mau menariknya hidup susah sama aku...”
“Terus?”
“Sejak saat itu aku mulai menjauhi dia, mengacuhkan dia.Kalau dia telepon, aku suka marahin dia biar dia jera dan ndak nelpon aku lagi...tapi ya dia tetep nelpon aku.Tetep ngingetin waktu sholat, ngingetin makan, ngingetin jaga kesehatan...Dia ndak pernah sakit hati kalau aku marah-marah ke dia.Sampai akhirnya aku keluar dari kerjaanku itu dan mulai kuliah.Sengaja kuganti nomor handphoneku agar dia ndak nelpon aku lagi dan sejak itu aku ndak pernah ketemu dia lagi...”
“Baru setelah itu kamu merasa bahwa kamu sebenernya juga cinta sama dia?”
Adit mengangguk,”Pernah sekali waktu aku coba nyari dia di tempat kerjanya tapi dia udah ndak ada.Kata temen-temennya dia ngelanjutin kuliahnya jadi ndak ikutan kerja di situ lagi..Aku coba nelpon dia juga ndak bisa...”
Dimas tersenyum,”Kita punya cerita yang sama tentang masa lalu....”
“Kalau ada kesempatan dan jika Tuhan mengizinkan, aku ingin minta maaf sama dia...Tapi mungkin sekarang dia sudah punya kehidupan nya sendiri...”
* * *
“Segenap mimpi ini telah usai dan berakhir
Seperti malam yang hilang di jempu pagi
Lalu hari-haripun berlari menuai janji
Menepiskan sisa-sisa luka yang masih hinggap di hati
Harapan ini telah sirna menghilang tersapu segala rasa bimbang
Kecewapun datang mengais hati
Ingin menangis tetapi airmata telah habis
Binar kebahagian telah padam
Tertiup semilirnya angin musim yang datang
Dedaunan berguguran dan teronggok di sudut kehidupan
Seperti jiwaku yang tertegun meratap
Menatap reruntuhan puing cinta yang hancur saat baru ku coba tuk membangunnya
Bayang keindahan itupun pudar
Lukisan kebahagiaanku robek dan tersayat kecil-kecil
Tercecer di segala penjuru kesedihan
Lalu terinjak keputusasaan yang mendera tiba-tiba
Ragakupun tersungkur jatuh tak berdaya
Menangisi hati kekasih pujaan yang menjadi milik orang”
Dimas termenung sejenak lalu memandangi Laras, istrinya, yang tengah sibuk menemani Sasya makan.
“Makannya yang bener dong sayang...”bujuk Laras karena Sasya tidak mau menghabiskan makanannya.
Laras memang sangat telaten mengurus Sasya.Pagi-pagi sebelum berangkat mengajar, dia sempatkan diri untuk menyuapi Sasya yang biasanya ditinggalkan bedua bersama pembantu di rumah.Dimas sangat bersyukur bisa mendapatkan istri seperti dia. Padahal dulu dia ogah-ogahan saat keluarganya menjodohkannya dengan Laras.Semuanya karena Tata.Karena Dimas tidak ingin melukai perasaan Tata waktu itu.
“Jadi...kamu dijodohkan sama wanita cantik itu?”rajuk Tata saat Dimas bercerita bahwa ia akan segera menikah dengan Laras.
“Kamu tega..!Kamu kan tahu kalau aku sayang banget sama kamu...Aku nggak mau kehilangan kamu..”isak Tata.
Dimas tidak berkata apa-apa waktu itu.Dia hanya diam membisu.
“Yah...berangkat yuk...”sentuhan lembut Laras di lengannya membuat Dimas tersadar dari lamunannya.
Akhirnya ia dan Laraspun beranjak meninggalkan rumah untuk menuju tempat kerja mereka masing-masing.
* * *
Jakarta, 12 Desember 2008
Assalamualaikum..
Sebelumnya aku ingin meminta maaf terlebih dahulu apabila ternyata coretan-coretan yang kutuang dalam kertas ini tidak berkenan di hatimu.
Aku tahu tidaklah pantas seorang gadis sepertiku menuliskan segala isi hati lewat surat yang mungkin akan membuatmu menilaiku sebagai gadis rendah dan miskin akhlakul kharimah.
Tidaklah pantas bagi seorang gadis menuangkan segala isi hatinya terlebih dahulu kepada seorang pria bukan muhrim yang dikaguminya.
Tapi hanya inilah satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk mengurangi beban batin di hatiku.
Aku takut mengutarakannya langsung kepadamu karena jangankan untuk berbicara langsung kepadamu, menatap matamu saja aku sudah tidak sanggup.
Aku takut bila menatap matamu, aku akan semakin terjebak dalam satu ruang aneh yang membuat hatiku bergemuruh.
Satu rasa yang sulit kuungkapkan
Satu rasa yang mungkin disebut cinta
Ya...aku mencintaimu...
Aku mencintaimu sejak pertama melihatmu
Aku mencintaimu sejak kau berikan senyummu saat lewat di hadapanku
Aku mencintaimu sejak kau tundukkan wajahmu tipa kali berpapasan denganku
Aku mencintai kesederhanaanmu..........
Aku mencintai semua yang ada pada dirimu
Aku tahu ini dosa..
Aku tahu ini salah
Karena setiap hari yang kusebut adalah namamu bukan nama Allah yang seharusnya kuingat sepanjang waktuku..
Karena setiap hari aku selalu mencarimu bukan mencari berkah dan rahmat Allah yang harusnya kucari sepanjang hidupku..
Dan apabila Allah melaknatku karena mencintaimu, aku pasrah dengan azab apa yang harus kuterima..
Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah kau baca suratku ini
Mungkin kau akan membenci dan menjauhiku tapi aku tak perduli
Bagiku asalkan kau sudah tahu perasaanku, itu saja sudah cukup
Aku tak ingin berharap lebih darimu karena aku tak ingin terluka untuk kedua kalinya...
Wassalam
Mentari
Seperti ada embun yang menetes di ubun-ubun Adit tiap kali ia membaca surat itu.Ia merasakan ada gelora cinta yang dahsyat tertuang dalam tiap kata yang tertulis di surat itu.
Mentari..., dimanakah gadis itu sekarang berada?Selama ini Adit sudah mencoba mencari gadis itu tapi hasilnya sia-sia.Mentari seperti hilang terbenam dan tak pernah muncul lagi.Padahal Adit ingin sekali bertemu dengannya untuk meminta maaf atas segala perlakuannya pada gadis itu.Gadis yang begitu tulus mencintainya dan mau menerima dia apa adanya.
“Kamu mau pulang ke Semarang?”
“Ya iyalah.Lebaran ya pasti pulang dong..!”
“Naik apa ke Semarang?”
“Kalau saya sich gampang.Bisa naik bis, bisa naik kereta api, tapi nggak bisa naik kapal laut...Nggak ada jalurnya....”
“Ih...bisa tahu ke Semarang pakai kapal laut...Caranya kamu nyeberang dulu ke Palembang baru habis itu naik pesawat ke Semarang..hehehehe..”
Adit tersenyum geli mengingat pembicaraannya dengan Mentari via telepon saat Adit hendak pulang ke Semarang.
Gadis itu memang lucu.Kalau ngomong ceplas-ceplos, lugu bahkan kadang terlalu lugu dan jujur bila mengungkapkan keinginannya.
“Kamu lagi dimana?”
“Di Depok!Kenapa?”
“Depok?Jauh amat ..Memang ngapain kamu di sana?”
“Nikah...”
“Hah?! Siapa yang nikah?”
“Ya..saya lah..”
“Bohong...!”
“Nggak percaya ya udah....Udah ya..saya mau naik pelaminan dulu..!”
“Ya....jangan dong..ntar aku nangis..”
Adit tersenyum lagi mengingat semua itu.Mentari memang suka merengek.Dia pasti bilang mau menangis tiap kali Adit berkata sesuatu yang membuatnya sedih.Waktu itu sebenarnya kakak Aditlah yang akan menikah tapi Adit memang suka sekali membohongi Mentari.Intinya agar Mentari menjauhi dirinya.Tapi akhirnya Mentari memang tahu kalau dia berbohong.
“Aku yakin kamu tuch baik.Kamu nggak akan pernah ninggalin aku.Aku tahu itu...” Itulah kata yang selalu terucap dari bibir Mentari.Kata-kata yang begitu tegas dan didasari keyakinan yang begitu kuat.
“Maafin aku..” gumam Adit lirih.
Dan kenangan-kenangan bersama Mentari seperti sebuah film yang sedang diputar ulang sekarang.
“Kamu dimana?”tanya Mentari melalui telefon dengan nada cemas.
“Di Semarang...” sahut Adit ringan.
“Ehm...di Semarang? Pulang kampung?” gumam Mentari “ Emang ada apaan? Keluarga kamu baik-baik aja kan? Mereka nggak kenapa-napa, kan?”
Ada nada cemas dalam pertanyaan Mentari yang terakhir.Waktu itu memang sedang marak bencana banjir dan tanah longsor.
“Alhamdulillah..keluargaku baik-baik aja...”sahut Adit “Kamu kenapa sich perhatian banget sama keluargaku?”
Lama tak ada sahutan dari Mentari, lalu” Kamu kan sudah tahu jawabannya.”
Adit tersenyum sendiri.Ia semakin larut dalam kenangan masa lalunya.Kenangan tentang Mentari.
“Kamu masih di Semarang ya?”
“Heem..Kenapa tanya-tanya?”balas Adit ketus.
“Nggak apa-apa..” sahut Mentari.
“Eh ya...kamu nggak ngasih selamat ke saya?”
“Ehm..? Selamat?” gumam Mentari bingung “ Oh ya...selamat tahun baru ya..”
Adit tertawa, “ Bukan selamat tahun baru tapi tadi malem saya tunangan.Kamu nggak kasih selamat?”
Lama Mentari terdiam kemudian terdengar tawanya “ Bohong...”
“Ih..serius...”
“He..he..he...ya udah ....iya dech selamat ya...he..he...”
* * *
“Aku berlalu pergi degan segenap luka yang masih hinggap di hati
Aku seperti prajurti yang kalah perang dan pulang dengan penyesalan
Au seperti burung yang terbang dengan sayap yang patah
Aku mencoba menahan semua kepedihan yang tengah kurasakan
Aku mencoba berlapang dada merelakan hatiku terluka untuk kedua kalinya
Aku masih mencoba berlari meski pedih mengisi relung hati
Aku masih mencoba untuk tegar
Aku masih mencoba menjaga satu rasa yang kuagungkan
Satu cinta yang pastinya akan membuatku bahagia
Entah kapan...”
Wanita berjilbab itu menutup bukau yang dibacanya sambil menghela nafas yang terdengar seperti keluhan.Diusap-usapnya sampul buku itu
“Penantian Panjang, kumpulan puisi karya Mentari Pitaloka”
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah murid-muridnya yang tengah sibuk mengerjakan ulangan yang ia berikan.Wanita itu tersenyum melihat murid-muridnya mengerutkan kening saat mengerjakan ulangan.Ia jadi ingat masa-masa SMA-nya yang indah, penuh tawa dan ceria.
“Waktunya tinggal lima menit lagi ya..”kata wanita itu sambil tersenyum.
Ketika bel tanda usainya jam pelajaran berbunyi anak-anakpun mulai mengumpulkan hasil ualngan mereka.
“Bu..kok soalnya susah-susah sich?” celetuk seorang siswa dengan wajah serius.
“Soalnya gampang-gampang tapi jawabannya yang susah-susah.”timpal seorang siswi berjilbab sambil tersenyum,”Iya kan Bu Tari?”
Wanita yang dipanggil Tari itu tersenyum.
“Bahasa Indonesia kan bahasa keseharian kita..ya pasti gampang dong..”sahut Tari dengan senyum mengembang sambil merapikan kertas-kertas hasil ulangan murid-muridnya.Setelah itu, wanita itu berjalan meninggalkan ruang kelas menuju mejanya di ruang guru.Sepanjang jalan senyum itu terus menghiasi bibirnya.Ia memang terkenal sebagai guru yang ramah.Tak heran jika murid-murid begitu menyukainya.Guru itu masih muda dan cantik.Jilbab yang ia kenakan selalu terlihat rapi setiap hari.Pembawaannya ceria dan penuh semangat.Padahal di balik semua keceriaannya itu ia memendam kesedihan yang amat sangat.Kesedihan yang begitu dalam yang ia dapatkan dari masa lalunya.
Ya..dialah Mentari Pitaloka, penulis buku kumpulan puisi yang berjudul Penantian Panjang.Gadis yang akrab dipanggil Tata oleh Dimas dan dikenal sebagai Mentari oleh Adit.Gadis yang menghilang dari kehidupan lamanya dan mencoba memulai kehidupan baru di sebuah kota kecil di Jawa.Sudah lima tahun dia bekerja sebaagi guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Pemalang.Sebuah kota kecil yang terletak di jalur Pantura.Kota yang panas tapi justru di sanalah Mentari merasakan keteduhan dalan hatinya.
“Bu Tari mau langsung pulang atau ke alun-alun dulu?”tanya seoarang rekan guru yang duduk di meja sebelah Mentari.
“Kayaknya saya langsung pulang, Bu Dyah.Ada yan harus saya kerjakan di rumah..”jelas Mentari sambil tersenyum.
“Lagi bikin buku baru ya, Bu?”
“Insyaallah, Bu Dyah..”
* * *
“Yen ing tawang ono lintang
Cah manis....
Aku ngenteni tekamu...”
Lagu jawa itu terlantun lirih dari mulut seorang wanita tua yang sedang duduk di teras rumahnya sambil memandangi langit malam yang cerah dipenuhi bintang.Di samping wanita tua itu duduk seorang wanita muda berjilbab hitam yang juga turut larut menatap langit malam.Wanita itu adalah Mentari bersama neneknya.Di Pemalang ini Mentari memang tinggal berdua bersama neneknya.
“Bintang itu pasti bahagia karena punya banyak teman...”gumam Mentari sambil terus menatapi bintang-bintang di langit.
“Kamu juga punya banyak teman kan...”tukas Neneknya “Tapi kamu ndak punya satu teman yang harusnya sudah kamu miliki...”
Mentari tersenyum lalu menatap neneknya.Ia tahu maksud dari ucapan neneknya tadi.
“Umurmu itu wis tigapuluh tahun lho..Nduk...Mau sampai kapan kamu hidup sendiri tanpa pendamping?”
Mentari terdiam.Ia kembali menatap langit.Tiba-tiba ia teringat pada cerita masa lalunya.Tentang Dimas, cinta pertama dalam hidupnya.Namun, cinta itu begitu pahit untuk dikenang.Kemudian Adit....hehm..ada begitu besar cinta yang masih tersimpan dalam hati Mentari untuk pria itu.Masih ada begitu banyak harapan yang ia sandarkan pada pria itu.Namun, lagi-lagi cinta itu juga begitu pahit untuk dikenang.
“Kamu tuh nunggu siapa tho, Nduk?”
Mentari tersenyum.Menunggu siapa?Siapa yang ia tunggu?Ia pun tak tahu jawabannya.Menunggu dimas ataupun Adit rasanya tak mungkin.Kedua pria itu pasti sudah punya keluarga sendiri.Jadi siapa yang harus ia tunggu?
“Tata juga bingung, Nek..” sahut Tata.
“Lha kok malah bingung..Kamu itu kok aneh..Kamu kan cantik pasti banyak yang mau jadi suami kamu..Cepetan milih salah satu ntar keburu dilangkahi adikmu, si Reza..dia kan udah 26 tahun, sudah kerja, sudah mapan, sudah punya rumah sendiri..sudah punya pacar juga..Terus adikmu yang paling kecil, si Dodi juga bentar lagi wisuda kan..Tugasmu sebagai kakak sudah selesai..”
Tata tesenyum mendengar wejangan dari Neneknya itu.
“Nenek ngerti perasaan kamu, Nduk..”ujar Neneknya sambil mengusap rambut Mentari dengan sayang.
“Tapi yang namanya kehidupan itu harus tetap berlanjut biarpun kita punya masa lalu yang pahit..Paling tidak kita harus bertahan hidup demi orang-orang di sekitar kita...”
Tak terasa Mentari menitikkan airmata,”Kenapa Tata nggak pernah bisa dapetin cinta yang Tata inginkan, Nek..?” isak Tata.
* * *
Dimas menatap foto gadis yang tadi direbutnya dari tangan Adit.Ada rasa sesak yang menyeruak di hatinya tatkala melihat gadis dalam foto itu.Gadis yang selama ini selalu diceritakan oleh Adit.Ya..gadis dalam foto itu adalah Tata.
“Jadi, kita berdua telah menyakiti hati gadis yang sama..”gumam Adit sambil tersenyum kecut.
“Dunia memang sempit..”timpal Dimas lirih.
“Kalau dunia ini sempit, kenapa sampai sekarang kita tidak bisa menemukan Mentari?”tukas Adit.
Dimas terdiam cukup lama kemudian ia bangkit dari duduknya.
“Kita harus menemukan dia..!”tegasnya.
* * *
Dimas dan Adit saling berpandangan begitu keluar dari mobil.Ada gurat rasa penat di wajah mereka.Perjalanan dari Semarang ke Jakarta memang cukup melelahkan mereka.
Sekarang mereka berdiri di depan sebuah rumah yang dikelilingi pagar besi.Rumah yang kecil tapi cukup asri dengan bunga-bunga yang tumbuh di halaman depan.Mereka berdua kemudian melangkah memasuki halaman rumah tersebut.Seorang anak muda berkacamata keluar menyambut mereka dengan wajah agak terkejut yang disembunyikan dalam senyuman.
“Kak Dimas...”sapa pemuda itu.
Dimas tersenyum “ Kamu sudah dewasa sekarang, Dodi...”
Dimas ingat dulu Dodi suka sekali bila diajari main bola olehnya.
Dodi mengajak Dimas dan Adit duduk di kursi teras depan.
“Rumah sepi Dod?”tanya dimas.
“Bapak lagi keluar kota, kak Reza kerja dan Ibu lagi ke rumah Bulik Wanda.Jadi sekarang cuman saya yang di rumah”jelas Dodi,”Oh ya..tunggu sebentar ya Kak..”
Dodi kemudian berjaln masuk ke dalam rumah dan ketika kembali ia membawa dua botol minuman dingin untuk Dimas dan Adit.
“Dod, Kak Dimas mau tanya..”
Dodi terdiam.Ia menatap Dimas dengan pandangan menyelidik,”Soal apa?”
“Tata...”sahut Dimas”Kakak harap kamu mau memberitahu dia sekarang berada”
Dodi diam sejenak lalu.”Untuk apa?Tolong biarkan Kak Tata tenang.Biarkan dia menjalani hidupnya yang sekarang.Dia sudah terlalu sakit..”
“Apa dia sudah menikah?”tanya Adit penasaran
Dodi tersenyum kecut,”Sejak ditinggal Kak Dimas, dia pernah jatuh cinta tapi akhirnya orang yang dia cintai juga pergi..Hehm..sejak itu tak pernah terdengar lagi Kak Tata jatuh cinta ..Biasanya dia selalu cerita..”
Adit menghela nafas berat,”Jadi dia belum menikah?”
Dodi mengangguk,”Kakak ini siapa?Perduli banget sama Kak Tata?”
Adit terdiam,”Saya..saya salah satu orang yang juga pernah menyakiti hati kakakmu...”
* * *
Mata sayu itu menengadah menatap rimbunnya dedaunan pohon beringin yang melindunginya dari panas matahari siang.Ia tersenyum kemudian melepaskan pandangannya ke sekeliling tempatnya duduk.Alun-alun kota Pemalang memang cukup teduh dan damai untuknya.Alun-alun yang dikelilingi oleh gedung-gedung pemerintahan dan sebuah masjid itu masih terawat dan asri.Di sanalah Mentari sering menghabiskan hari-harinya setelah penat mengajar.Di sanalah ia menemukan beragam inspirasi untuk menulis buku.Di sanalah ia merenungi kehidupannya.Di sanalah kadang ia menangis saat mengingat perjalan hidupnya.
“Hidup itu harus seperti mentari.Ia tak kenal lelah menyinari dunia.Memberikan kehangatan.Memberikan panas yang berguna bagi dunai.Mentari membuat padi yang dijemur cepat kering hingga bisa diprose menjadi makanan yang memberi kehidupan bagi manusia.Mentari membantu pohon-pohon bisa terus hidup.Mentari memberi kehidupan.”
Mentari tersenyum .Angin semilir menerpa wajahnya, membuat jilbab yang dikenakannya berkibar-kibar.
“Jadi Mentari itu bersembunyi disini..”tiba-tiba suara seseorang membuat Mentari terkejut.Mentari menoleh ke arah sumber suara.Ia terperanjat begitu mendapatkan wajah Dimas disana.
“Di..Dimas...?”gumamnya lirih setengah tak percaya.
Dengan tenang Dimas duduk di samping Mentari.
“Aku mencari kamu kemana-mana ternyata kamu ada disini..”
“Darimana kamu tahu aku disini?Dan untuk apa mencariku?”ketus Mentari yang sudah mulai bisa mengendalikan perasaannya.
“Kamu tak perlu tahu darimana.Yang perlu kamu tahu, aku ke sini untuk meminta maaf padamu dan semoga kehadiranku di sini bisa memberi kebahagian dalam hidupmu..”tutur Dimas.
Mentari tersenyum kecut,”Kebahagiaan?Kebahagiaan macam apa yang bisa kamu berikan?Arti kebahagiaan itu saja aku sudah tak tahu lagi.Bagiku, kebahagiaan itu sudah tak ada lagi dalam hidupku..Aku sudah terbiasa bersahabat dengan kesedihan dan kesepian...”
“Kamu nggak mau maafin aku?”tanya Dimas dengan wajah sendu.
Mentari menatap Dimas.Ada rasa rindu yang membuncah saat menatap pria itu.Dimas tak banyak berubah.Ia masih sama seperti yang dulu.Hanya ia tampak lebih dewasa dengan kacamata minus yang ia kenakan.
“Aku sudah maafin kamu dari dulu..”tutur Mentari.”Lagipula tak ada yang salah yang perlu dimaafin...”
Dimas terdiam.
“Ohya, bagaimana dengan istri kamu?Sekarang kalian tinggal dimana?”
“Kami baik-baik saja.Sekarang anak kami sudah berumur lima tahun.Kami bahagia..Sangat bahagia...”
Mentari tersenyum kecut mendengarnya.masih ada rasa pedih bila sadar Dimas sudah menikah dengan wanita lain.
“Sekarang kami tinggal di Semarang...”lanjut Dimas.
“Semarang...Semarang...”Mentari mengulang-ulang nama kota itu sambil memandang kosong ke arah anak-anak jalanan yang sedang bermain di tugu yang ada di tengah alun-alun itu.
Bila mengucap nama kota Semarang, ia jadi teringat pada Adit.Dulu ia pernah membayangkan hidup di sebuah desa di Semarang.Hidup di sebuah desa yang dikelilingi sawah.Ada sungai, ada hutan kecil yang teduh.Berjalan berdua bersama Adit di pematang sawah dan melihat hamparan hijau rumpun padi yang luas.
Mentari tersenyum mengingat semua khayalannya itu.Namun, kemudian matanya berkaca-kaca ketika sadar semua itu takkan jadi kenyataan.Adit sudah pergi.Adit meninggalkannya sama seperti Dimas dulu meninggalkannya
“Kamu kenapa Ta?”tanya Dimas.
Mentari menggeleng,”Aku hanya teringat pada seseorang bila mendengar kota Semarang disebut..”
“Seseorang?Siapa?”tanya Dimas menyelidik.
“Dia...”Mentari berhenti sebentar”Ehm..aku mencintainya sama seperti rasa cintaku ke kamu.Aku mengenalnya saat aku sedang putus asa dan terluka.Dia memberiku semangat untuk terus berjuang dan melangkah.Aku begitu berharap padanya tapi..tapi harapanku tak pernah jadi nyata..Dia juga pergi..Meninggalkan aku..menjauhi aku...Sama seperti kamu..Mungkin memang sdah takdirku selalu begini..”
“Kamu masih mengharapkannya?”
Mentari menghela nafas dalam.
“Harapan itu selalu ada di hatiku.Manusia yang hidup tanpa harapan sama saja seperti mayat hidup yang tak berarti apa-apa.Namun, harapan itu kurasa tak berguna lagi.Aku tak akan pernah bertemu dia lagi.Dia juga tidak pernah perduli padaku..Sekarang dia dimana akupun tak tahu...”
“Kamu mau dia hadir?”
“Jika kehadirannya untukku tidak membuat sakit hati wanita lain...”
“Aku ke sini untuk kamu dan sama sekali tak ada satupun hati wanita yang terluka karena kehadiranmu di sini..”suara tegas seseorang membuat Menatri terperanjat.Ia kenal suara itu.Ia langsung berdiri lalu menoleh mencari sumber suara.Mulutnya ternganga begitu melihat sosok pria yang kini berdiri tepat dua meter di hadapannya.
“A...Adit..?”pekik Mentari lirih dengan mata berkaca-kaca.
Dimas yang berdiri di sampingnya tersenyum.
Mentari menatap Dimas dan Adit bergantian.Rasanya seperti mimpi.
“Aku..aku bingung...”keluh Mentari.
* * *
“Jadi kalian berdua dari Semarang ke Jakarta terus ke Pemalang?”tanya Mentari penuh semangat.Kini gurat kesedihan di wajahnya sudah mulai berkurang.
Dimas dan Adit mengangguk.Mereka berdua sudah menceritakan semuanya pada Mentari.
“Semuanya demi aku?”
Menatri mereguk habis teh hangat di gelasnya lalu meraih tissue dan dilapnya mulutnya dengan tissue itu.
“Ini tempat makan favoriteku...Makannya enak kan?”tutur Mentari sambil tersenyum.
Dimas dan Adit mengangguk lagi.
Mentari tertawa kecil.
“Aku senang bisa melihat kamu tertawa lagi..”kata Dimas.
“Dan aku ingin selalu membuatmu tertawa bahagia.”timpal adit.
Mentari terdiam.
“Sudah saatnya kamu bahagia, Ta..”tutur Dimas lalu diraihnya jemari tangan Mentari dan Adit kemudian ia menyatukan jemari tangan kedua insan itu.
“Aku yakin Adit bisa bahagiain kamu..”tambah Dimas.
Mentari dan adit berpandangan.Ada nyala harapan yang tergambar di mata Adit.Ada nyala cinta yang terpancar di mata Mentari.
* * *
Mentari berlari-lari kecil menapaki pematang sawah sambil tertawa riang.Adit berjalan di belakangnya memperhatikan gadis itu.
Mereka berdua kemudian berhenti dan memperhatikan para petani yang sedang sibuk bekerja di sawah.Sekarang sedang musim tanam.Mentari memperhatikan ibu-ibu yang sedang menenam padi.Mereka begitu cekatan.
“Akhirnya aku bisa jalan-jalan di sawah sama kamu..”tutur Mentari sambil menatap Adit.Angin sepoi menerpa wajahnya dan membuat jilbabnya berkibar lirih.
“Aku kan dulu pernah bilang mau ngajak kamu lihat-lihat sawah..”
“Iya..tapi sekarang sawahnya di Pemalang bukan di Semarang...”
“Sawah kan sama saja bentuknya”tutur Adit”Sawah di Semarang juga begini..”
“Tapi aku mau lihat sawah di Semarang...”rengek Mentari manja.
“Iya...iya..nanti kita lihat-lihat sawah di Semarang.”kata Adit”Kamu tuh masih sama kayak yang dulu, manja...Dulu kan kamu pernah janji ndak akan manja lagi..”
Mentari tersenyum,”Iya dech..mulai sekarang nggak manja lagi..”
Mereka berdua kemudian menyusuri sawah yang luas itu.Sesekali mereka tertawa riang.
Kini hari-hri terasa begitu indah.Penantian panjang penuh luka di hati Mentari sudah sirna.Sekarang yang ada adalah penantian bahagia hari pernikahannya dengan Adit yang tinggal dua minggu lagi.Penantian panjangnya tak pernah sia-sia.Kebahagiaan itu akhirnya datang menghampirinya.Doa-doanya yang selalu ia panjatkan kini telah terjawab.Semuanya menjadi indah.
“Hidup itu harus seperti mentari.Ia tak kenal lelah menyinari dunia.Memberikan kehangatan.Memberikan panas yang berguna bagi dunia.Memberian kehidupan..”
* SELESAI *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar